JAKARTA, KORAN HARIAN 55 — Ketua Umum (Ketum) Perserikatan Journalist Siber Indonesia (Perjosi) minta RUU penyiaran agar dicabut, bukan hanya sekedar ditunta, karena menurutnya sangat berseberangan dengan kemerdekaan pers dan tumpang tindih dengan UU No 40 Tentang Pers.
“Jangan hanya sekedar menunda, tapi cabut pasal-pasal yang menutup kemerdekaan pers, di antaranya Pasal 8A dan 42 tentang kewenangan KPI terkait penyelesaian sengketa jurnalistik, serta pasal 50B terkait larangan wartawan melakukan investigasi,” tegas Ketum Perjosi, Rabu (29/05/2024).
Menurut Bung Salim sapaan akrab, mantan Direktur Utama (Dirut) Harian Ujungpandang Ekspres (Upeks) ini mengungkapkan bahwa RUU Penyiaran tidak perlu terburu-buru untuk disahkan. Meminta DPR RI melibatkan elemen masyarakat untuk memberi masukan, agar tidak terjadi tumpang tindih dengan UU No 40 Tentang Pers,” ujarnya
“Saya berharap agar DPR mencabut RUU karena menilai revisi UU Penyiaran ini akan membawa masa depan jurnalisme di Indonesia menuju masa kegelapan dan mengekang kemerdekaan pers,” ujarnya
Bung Salim juga menuturkan dengan adanya RUU, melanggengkan kegemaran Negara dalam hal kebebasan jurnalis. Karena menurut Bung Salim salah satu hal krusial dalam RUU Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan, dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI yang tumpang tindih dengan Dewan Pers.
“Sebagaimana yang terdapat pada draf tertanggal 27 Maret 2024, revisi UU Penyiaran tersebut secara nyata membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum. Negara, dalam hal ini Pemerintah, kembali berniat untuk melakukan kendali berlebih (overcontrolling) terhadap ruang gerak warga negaranya. Hal ini tentu tak hanya berdampak pada pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan pers, tetapi juga pelanggaran hak publik atas informasi, tambahnya.
Ketum Perjosi juga menjelaskan, ada Pasal-Pasal yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi terdapat pada Pasal 50B ayat (2) larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, juga adanya larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender, juga melarang adanya penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik.
Menurut Bung Salim, mantan wakil ketua PWI Sulsel Bidang Pembelaan Wartawan ini juga mengungkap, larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik merupakan wujud keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan pada penyelenggaraan negara. “Beralasan memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif sebagai sarana check and balances bagi berlangsungnya kehidupan bernegara, pemerintah justru memilih untuk menutup kanal informasi tersebut, ini bukan fenomena yang mencengangkan mengingat kultur pemerintahan Indonesia yang anti kritik, tidak berorientasi pada perbaikan, dan enggan berpikir, tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, mengatakan revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran untuk sementara tak dibahas di DPR.
Supratman menyebut fraksi memerintahkan agar RUU Penyiaran untuk tidak dibahas sementara.
“RUU Penyiaran kemarin saya sudah sampaikan di semua media, satu bahwa saat ini sudah ada di Badan Legislasi, Badan Legislasi sudah sekali mendengarkan paparan dari pengusul, dalam hal ini teman-teman Komisi I,” kata Supratman kepada wartawan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/5).
Supratman mengatakan ada perintah dari fraksi untuk tidak membahas dahulu pasal terkait posisi Dewan Pers hingga poin yang menyangkut jurnalisme investigasi. Supratman mengatakan ada penundaan dahulu terkait itu.
“Kemudian yang kedua saya sampaikan ke teman-teman semua bahwa dari fraksi kami sudah memerintahkan kepada saya untuk sementara tidak membahas RUU Penyiaran, terutama yang berkaitan dengan dua hal. Satu, posisi Dewan Pers, yang kedua menyangkut jurnalistik investigasi,” ujar Supratman.
“Ya artinya begitu perintahnya (ditunda),” tutupnya. (dc/akc