JAKARTA, KORAN HARIAN 55 — Dittipidnarkoba Bareskrim Polri mengungkapkan bahwa uang hasil penjualan narkotika para tersangka bandar besar narkoba di wilayah Jambi, diputar untuk kegiatan ilegal.
“Terkait perputaran uang, yang jelas, ada satu yang telah kami dalami, yaitu terkait dengan distribusi minuman keras (miras) ilegal,” kata Wakil Dirtipidnarkoba Bareskrim Polri Kombes Arie Ardian Rishadi dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu.
Selain kegiatan ilegal, kata dia, para tersangka bandar narkoba yang berinisial HDK (Helen Dian Krisnawati), DD, MA, TM alias AK, dan DS alias T, juga memutar uang untuk kegiatan legal, yaitu dengan membuka toko aksesori ponsel, toko pakaian, dan gimnasium.
Sejauh ini, penyidik telah menyita sejumlah aset. Dari tersangka AA yang berperan sebagai salah satu jaringan bandar HDK, penyidik menyita sejumlah barang bukti yang bernilai Rp10,8 miliar.
Dari tersangka TM alias AK, barang bukti yang disita adalah empat buah kendaraan roda empat, enam buah kendaraan roda dua, lima buah sertifikat rumah, dan satu buah tanda terima setor pajak tanah dan bangunan.
“Sementara yang kita sudah sita nilainya kurang lebih ada Rp10 miliar. Ada barang bukti yang sudah kami akan sita yang belum kami appraisal (penaksiran harga). Kemudian, ada 37 aset tanah dan bangunan,” ucap Arie.
Terkait kemungkinan adanya aset di luar negeri, ia mengatakan bahwa pihaknya masih mendalami hal tersebut.
Adapun dalam penyelidikan perputaran uang dalam kasus ini, penyidik Bareskrim melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Sekretaris Utama PPATK Irjen Pol. Albert Teddy Benhard Sianipar yang turut hadir dalam konferensi pers menjelaskan bahwa para pelaku menggunakan tiga modus operandi pencucian uang. Modus pertama adalah menggunakan rekening nominee atau praktik pinjam nama.
Modus kedua adalah dengan setor tarik secara tunai dengan frekuensi yang tinggi. “Itu makanya saldo yang ada di rekening para pelaku untuk saat ini kecil, tapi total perputaran keuangannya itu hampir Rp1,1 triliun sepanjang tahun 2010–2014,” ujarnya.
Modus terakhir yang digunakan adalah menggabungkan antara uang hasil tindak pidana dengan kegiatan-kegiatan yang sah, seperti membuka toko aksesori ponsel.
“Dan banyak kemudian hasil-hasil kejahatan tadi dipakai untuk biaya hidup, foya-foya, membeli aset-aset, dan kemudian digunakan lagi untuk membiayai tindak pidana lain,” kata dia.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan pasal UU Narkotika dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup atau paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.