Kepala Bakamla Bilang Jumlah Kapal Patroli Di Perairan Natuna Belum Ideal

JAKARTA, KORAN HARIAN 55 — Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksamana Madya (Laksdya) TNI Irvansyah menilai jumlah kapal yang saat ini berpatroli di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara belum ideal.

Oleh karena itu, Irvansyah menyebut Bakamla saat ini menyusun rencana postur kekuatan Bakamla RI untuk 20 tahun ke depan pada 2025–2045.

“Kapal Bakamla yang patroli (di Laut Natuna Utara) satu kapal. Satu kapal sudah pasti tidak ideal. Jumlah idealnya sedang dihitung dalam rangka menyusun rencana postur Bakamla RI 2025–2045,” kata Laksdya Irvansyah saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Bakamla saat ini diperkuat 10 kapal yang terbagi di tiga tiga wilayah operasi, yaitu di Zona Maritim Barat yang membawahi perairan sekitar Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan, kemudian Zona Maritim Tengah yang membawahi perairan sekitar Pulau Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil, dan terakhir Zona Maritim Timur yang membawahi perairan sekitar Kepulauan Maluku dan Papua.

Di Zona Maritim Barat, tepatnya di Laut Natuna Utara, kapal-kapal Bakamla secara bergantian berpatroli sepanjang tahun.

Di Laut Natuna Utara pada bulan lalu tepatnya pada 21 Oktober, 24 Oktober dan 25 Oktober, kapal penjaga pantai China CCG 5402 sempat masuk perairan yurisdiksi Indonesia dan mengganggu aktivitas survei seismik PT Pertamina yang menggunakan kapal MV Geo Coral. Kapal patroli Bakamla pun tiga kali mengusir kapal penjaga pantai China itu.

Bakamla RI dalam siaran resminya menegaskan Bakamla RI bakal terus mengawasi secara ketat aktivitas di Laut Natuna Utara demi memastikan survei seismik di perairan itu berjalan tanpa gangguan.

“Operasi ini juga mencerminkan komitmen Bakamla RI dalam menjaga ketertiban dan keamanan maritim di perairan strategis Indonesia,” demikian siaran resmi Bakamla RI.

Laut Natuna Utara merupakan perairan yurisdiksi Indonesia di Laut China Selatan, yang masuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Walaupun demikian, China secara sepihak mengklaim perairan itu masuk dalam yurisdiksinya berdasarkan alasan historis 10-dash-line. Klaim 10-dash-line China itu mencakup sebagian besar perairan Laut China Selatan.

Walaupun demikian, klaim sepihak China itu bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) Tahun 1982. Indonesia dan China masuk dalam daftar negara yang meratifikasi UNCLOS.